Minggu, 02 Oktober 2011

.~* Mabrur Sebelum Berhaji *~.

Dikisahkan, Khalifah Harun Al-Rasyid radhiallahu 'anhu pernah berhaji bersama pengawalnya. Usai thawaf beliau beristirahat, duduk bersandar di salah satu pilar Masjidil Haram. Karena lelah, beliau terlelap. Dalam keterlelapannya, beliau bermimpi ada dua malaikat yang berbincang,

"Tahun ini banyak sekali orang yang menunaikan ibadah haji." komentar  salah satu Malaikat.

"Betul, kurang lebih tujuh ratus ribu orang yang berhaji tahun ini." jawab yang lainya.

"Tapi tak ada satu pun di antara mereka yang mabrur hajinya."

"Benarkah demikian? Bukankah itu urusan Allah? Apa penyebab haji mereka tidak mabrur?"

"Macam – macam, ada yang karena riya', ada yang tetangganya lebih memerlukan uang tapi tidak dibantu dan dia malah haji, ada yang  hajinya sudah berkali  kali, sementara masih banyak orang yang tidak  mampu, dan berbagai sebab lainnya. Tetapi ada satu orang yang mendapatkan pahala mabrur tahun ini, padahal ia tidak pergi berhaji."

"Sungguh beruntung orang itu, siapakah dia?"

"Orang-orang memangilnya 'Abdullah, tukang sol sepatu dari negeri Syam."

Mendengar perbincangan itu Sang Khalifah terkejut dan tersadar dari keterlelapannya. Heran, apa yang baru saja beliau dengar. Sepulang dari Mekah beliau mengajak pengawalnya menuju negeri Syam, untuk mencari seseorang yang disebut-sebut dalam perbincangan dua malaikat di mimpinya.



Sesampainya di negeri Syam, di salah satu kampung, beliau dan pengawalnya mulai melakukan pencarian. Apakah ada tukang sol sepatu yang disebut 'Abdullah? Ternyata banyak orang yang mengenalnya. Menurut penduduk kampung itu, setiap petang Abdullah selalu melewati kampung itu, sementara tempat tinggal 'Abdullah masih dua kampung lagi dari kampung itu. Hari menjelang petang, penantian pun dimulai. Nampak seorang tukang sol sepatu melewati kampung itu lalu dihentikannya,

"Apakah anda yang bernama 'Abdullah?" tanya Sang Khalifah.

"Bukan, Tuan. 'Abdullah masih jauh di belakang saya." jawab tukang sol sepatu.

Hampir setiap tukang sol sepatu ditanya, namun 'Abdullah yang dimaksud belum ditemukannya.

Semburat merah mulai menghias di ufuk barat. Dari kejauhan nampak seorang tukang sol sepatu berjalan memasuki kampung itu. Mendekat, mendekat, dan semakin dekat. Dia seorang tukang sol sepatu berpakaian lusuh. Dialah 'Abdullah yang dicari. Sang Khalifah dan pengawalnya pun menghentikannya.

"Wahai Tuan, apakah Tuan yang disebut 'Abdullah?"

"Betul Tuan, saya 'Abdullah. Tuan-tuan ini siapa?"

"Siapa kami ini bukan hal penting. Kami berangkat dari Mekah, sengaja datang mencari Tuan sekedar ingin bershilaturrahim."

"Subhanallah, tentu Tuan-tuan menempuh perjalanan yang melelahkan. Saya akan senang jika Tuan-tuan tinggal beberapa hari di gubuk kami."

"Dengan senang hati, Tuan Abdullah. Kami pun senang jika Tuan mengizinkan." jawab Sang Khalifah, sesuai dengan keinginannya.

Selepas Maghrib di kampung itu, mereka pun berangkat menuju kediaman 'Abdullah. Di gubuk itu 'Abdullah tinggal bersama istrinya yang tengah mengandung. Jamuan pun dihidangkan. Hidangan-hidangan istimewa disuguhkan untuk tamu mereka. karena mereka faham akan hadis Rasulullah SAW,
"Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya."

Dalam benak Sang Khalifah berguman,
"Bukan.. bukan karena ini (memuliakan tamu) ia mendapatkan pahala mabrur, pasti ada hal lain."

Tiga hari telah berlalu, namun Sang Khalifah belum menemukan jawaban atas keheranannya. Akhirnya beliau pun mengutarakan rasa penasarannya kepada 'Abdullah. Beliau menceritakan perihal mimpi yang dialaminya.

"Sekarang saya tanya, adakah sesuatu yang telah anda perbuat, sehingga anda berhak mendapatkan pahala haji mabrur, barang kali mimpi itu benar.." ungkap Sang Khalifah.

"Saya sendiri tidak tahu, yang pasti sejak puluhan tahun yang lalu saya memang sangat rindu Mekah, untuk menunaikan ibadah haji. Mulai saat itu setiap hari saya menyisihkan uang dari hasil kerja saya, sebagai tukang sol sepatu. Sedikit demi sedikit saya kumpulkan. Dan pada tahun ini  biaya itu sebenarnya telah terkumpul."

"Tapi anda tidak berangkat haji."

"Benar"

"Kenapa?"

"Waktu saya hendak berangkat ternyata istri saya hamil, dan saat itu dia mengidam berat."

"Lalu?" tanya Sang Khalifah penasaran.

"Dia mengidam daging yang dia cium, saya cari sumber daging itu, ternyata berasal dari gubug yang hampir runtuh, disitu ada seorang janda tua dan enam anaknya. Saya bilang padanya bahwa istri saya ingin daging yang ia masak, meskipun secuil. Ia bilang tidak boleh, hingga  saya bilang bahwa dijual berapapun akan saya beli, dia tetap mengelak. Akhirnya saya tanya kenapa?

"Daging ini halal untuk kami dan haram untuk  tuan..." katanya,

"Kenapa?" tanyaku lagi,

"Karena daging ini adalah bangkai keledai, bagi kami daging ini adalah halal, karena andai kami tak memakannya tentulah kami akan mati kelaparan..." jawabnya sambil menahan air mata.

Mendengar ucapan tersebut sepontan saya menangis, lalu saya pulang, saya ceritakan kejadian itu pada istri saya, diapun menangis, akhirnya uang bekal haji saya berikan semuanya untuk seorang janda tua itu."

Mendengar cerita tersebut Sang Khalifah pun tak mampu membendung air mata.
"Kalau begitu engkau memang patut mendapatkanya..." ujar Sang Khalifah.

================================================

NB: Kisah ini sudah banyak dikisahkan dengan berbagai versi. Dalam kisah lain seorang 'Abdullah disebutkan bernama Sa’id Ibnu Muhafah. Terlepas dari keshahihan kisah ini, mari kita ambil hikmahnya. Dan kisah ini patut jadi renungan kita semua.

Wallahu a'lam bi shawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar