Sabtu, 29 Oktober 2011

Berselimut Selembar Kabut


Hawa dingin bukit Jayagiri Lembang menyambut kedatanganku bersama Arini. Ia mulai terasa menyusup lembar-lembar jilbab kami. Aroma khas pohon-pohon pinus pun masih menyengat dalam penciuman kami. Membawa ingatanku semasa kecil hingga remajaku dulu. Di desa inilah aku dibesarkan, tepatnya di belakang gereja besar yang ada dihadapanku kini. Sampai aku diusir dari sini 5 tahun lalu. Karena aku memilih jalan yang tak direstui Pipih, bapak kandungku yang bertugas sebagai seorang pendeta di gereja ini. Dahulu setiap Sabtu sore di gereja inilah kami sekeluarga mengikuti kelompok belajar Alkitab.

Semua berawal ketika aku duduk di sebuah SMK di Bandung. Di sekolah itulah aku mendapat hidayah.  hingga aku mengucap dua kalimah syahadah. Aku pun turut aktif dalam kegiatan rohis sekolah dan keputrian, meskipun belum berjilbab. Aku memulai dengan belajar wudhu’ dan sholat. Tidak ada basuhan air yang menenangkan qalbuku, selain air wudhu’. Begitupun ketika aku berdiri melaksanakan sholat, ada ketenangan yang menepiskan kegundahanku selama jahiliyah dulu.

Sejak itu ketika dirumah aku sering melaksanan sholat secara sembunyi-sembunyi  di dalam kamar yang terkunci. Tak satupun anggota keluargaku yang tahu tentang keislamanku yang sudah hampir empat bulan. Hingga suatu ketika saat aku hendak melaksanakan sholat Isya. Rupanya Pipih memperhatikanku yang baru keluar dari kamar mandi berbasuh air wudhu’. Di dalam kamar perlahan aku mengeluarkan sajadah dan mukena pemberian guru agamaku di sekolah. Setelah semuanya siap, aku pun mulai bertakbir, “Allahu Akbar” bisikku pelan.

Satu raka’at belum kuselesaikan, namun tiba-tiba.. “Raselia…” seru Pipih dari ruang keluarga mengejutkan sholatku. “Raselia …!!!” suaranya semakin jelas mendekat. Aku pun mempercepat sholatku. Namun seruan pipih kian mendekat ke arah kamarku yang terkun.. ”Gawat!!! Aku lupa mengunci pintu!!!” gumamku tak khusyu’. Perang berkecamuk dalam bathinku. Apakah aku harus membatalkan sholat untuk memenuhi panggilan Pipih? Atau tetap tunduk dalam memenuhi panggilan Allah?

Tapi semua terlambat, Pipih sudah membuka pintu kamarku dan menyaksikan putrinya berdiri di atas sajadah berbalut mukena. Kontan saja Pipih geram, dia langsung berlari ke arahku yang kini mulai ruku’ dalam raka’at kedua. Tanpa pikir lagi Pipih langsung menendang pinggul kananku, memukul kepalaku, hingga membuatku terpental dan tersudut ke dinding sebelah kiriku.

“Apa-apaan kamu?!” bentaknya seraya merenggut mukena dari kepalaku. “Kamu mau jadi pocong, apa?!” seraya melemparkan kembali kain mukena ke wajahku. Menyusul kaki kanannya menendang punggungku membuatku makin tersungkur di sudut lantai dan dinding yan membisu. Keganasan semakin nampak di raut mukanya membangkitkan ketakutanku kala itu. Laksana harimau yang siap menerjang musuhnya.

Cacian, pukulan dan tendangan itu seakan-akan dia bukan Pipih yang dulu. Bahkan satu termos air panas pun disiramkannya ke sekujur tubuh putri semata wayangnya. Mimih pun tak dapat berbuat apa-apa. Mimih hanya menangis meraung-raung. Antara menangisi anaknya yang durhaka terhadap ajaran mereka, atau menangisi anaknya yang tengah disiksa suaminya. Aku tak kuasa lagi mengingat semuanya.

Mungkin harus begitulah ujian atas keimananku, seperti yang Allah firmankan,
“Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang sebelum mereka dan benar- benar Allah mangetahui orang-orang yang benar dan mengetahui pula orang-orang yang dusta. (QS Al-Ankabut, 29 : 2-3)

“Hanifah, kamu baik-baik aja kan?” sapa Arini menyebut nama muslimahku menyadarkan aku dari lamunan. Pelukannya menenangkan aku yang sudah melelehkan bulir-bulir hangat melintasi pipi. Hanya air mata itu yang mampu aku ungkapkan ketika mengingat peristiwa hari itu.

“Iya, aku baik-baik aja Rin.. Hanya teringat kejadian masa lalu.” ungkapku seraya menghapus lintasan di kedua pipiku. “Ya udah, sekarang kamu udah siap kan ketemu orangtuamu?” tanya Arini membangkitkan keyakinanku. “InsyaAllah, mudah-mudahan Allah membukakan hati mereka ya, Rin..” ujarku. “InsyaAllah, aamiin.. Innnallaha ma’aana.” lanjut Arini.

***

Langkah kami pun mulai menyusuri jalan kecil di samping kiri gereja. Menuju kediaman orangtuaku yang sudah tiga tahun terakhir ini tak ada kabarnya. Dari kejauhan rumah orangtuaku nampak sepi dari kehidupan penghuninya. Sesampainya di halaman rumah mereka, bulir-bulir kepedihanku kembali mengalir dari pelupuk mataku. Ingatanku kembali melayang pada peristiwa terakhirku di rumah ini.

Sepeninggalnya aku dari rumah ini, aku dipasung Pipih. Meskipun Mimih tampak berat dengan tindakan Pipih, tetapi Mimih tetap tidak bisa menerima kenyataanku menjadi seorang muslimah. Selain dipasung malam itu pula aku diasingkan di hutan pinus. Tak ada lagi suara bentakkan Pipih. Tak ada lagi raungan tangis Mimih. Hanya dengkuran serangga di tengah kelam, dan tarian dahan-dahan pinus yang bergesekkan karena terpaan angin lembut di puncaknya.

Dingin kabut kian mencumbu sekujur tulangku. Denyut-denyut kesakitan dari luka-luka memar kian terasa di hampir sekujur badanku. Dalam keadaan kaki terpasung dan tangan terikat, aku teringat bahwa shalat ‘Isyaku belum kusempurnakan. Aku pun berusaha melepas ikatan di pergelangan tangan. Cukup sulit untuk kuleraikan, namun berkat keinginan kuat untuk menyempurnakan sholat, Allah memberiku kekuatan hingga ikatan itu berhasil kulepaskan. Dan kusempurnakan sholat ‘Isyaku semampu keadaanku. 

Malam itu kabut memenuhi seisi hutan. Selain pakaianku yang seadanya, kabut itu pula yang menjadi selimutku. Selepas kelelahan atas ujian keimanan malam itu, Allah melelapkan tidurku. Sayup-sayup lembut adzan shubuh menyapa telingaku. Entah dari masjid mana atau surau mana. Atau hanya ilusiku yang merindukan ketenangan dalam sholatku. Aku pun bergegas tunaikan sholatku. Berwudhukan embun dari rumput-rumput disekitarku. Bermukena kabut yang masih setia menyelimutiku. ‘Semoga Allah memaklumi keadaanku’, pikirku ketika itu.

Beruntungnya, selepas fajar menyingsing seorang tukang kebun menemukan aku. Dia yang membantuku terlepas dari pasungan. Dan membawaku ke rumahnya yang tak jauh dari hutan Jayagiri. Dari sana aku disarankan untuk hijrah ke sebuah pesantren di daerah Dago Pakar Bandung. Di sanalah aku banyak belajar dan berbakti.

Arini kembali memelukku, menyadarkan aku dari kenangan masa lalu. Isyarat kepalanya membujuk aku mendekati pintu. Di kaca jendela rumah itu masih tertempel logo salib putih bersama burung merpati. Logo yang sama pada kaca belakang sebuah mobil yang nyaris merenggut nyawaku beberapa tahun lalu. Makin deras  saja lelehan air mata membasahi pipiku, teringat peristiwa itu.

Ketika itu aku bersama Rida sahabatku pengurus pesantren, kami baru keluar dari sebuah bank konvensional. Dari sana kami harus menyebrangi jalan untuk mendapatkan angkutan umum tujuan pulang ke pesantren. Lampu merah menyala pertanda wajib berhenti bagi kendaraan, kami pun mulai menyebrang. Namun sebuah mobil meluncur dengan cepat dari arah kanan. Aku dan Rida panik bukan kepalang. Reflek Rida segera berlari seraya mendorongku hingga aku terjatuh. Rida pun menyusul terjatuh setelah… “Braaak!!!” samping kanan mobil itu menyambar tubuh Rida. Rida pun dilarikan ke rumah sakit.

Dua tahun pertama keislamanku memang penuh teror. Mengancam keselamatan jiwaku dan orang-orang yang dekat denganku. Tak sedikit dari teman dan sahabatku yang menjadi korban teror mereka. Karena memang, ”Tidak akan pernah ridha orang-orang Yahudi dan Nashrani kepadamu hingga engkau mengikuti agama mereka.” (QS al-Baqarah [2]: 120)

***

Akhirnya aku memberanikan diri mengetuk pintu rumah itu. Tak ada sahutan di antara ketukan. Hanya debaran jantung yang aku rasakan semakin kencang. Ketukan ketiga, sesorang di dalam rumah bergerak perlahan mendekati pintu. Arini seolah-olah mengerti perasaanku, ia kembali mendekapku dari samping kanan.

Perlahan daun pintu pun terbuka, “Neng Rasel…!!!” seru Bi Ijah pembantu di rumah itu, seraya memelukku dengan erat dengan mata berkaca. “Bi Ijah, apa kabar Bi?” sapaku. “Alhamdulillah baik Neng, Neng Rasel sehat?” jawabnya balik bertanya. “Alhamdulillah sehat Bi.. Mimih sama Pipih kemana, Bi?” tanyaku. “Iiih ari si Neng Rasel, pan si Pipih teh udah tiga hari menghilang. Sekarang si Mimih masih sibuk nyari ka ditu ka dieu..” sahutnya dengan logat sundanya yang kental.

Pembicaraan antara kami pun berlanjut di dalam rumah. Dari Bi Ijah aku mendapat kabar bahwa sudah seminggu belakangan sikap Pipih mulai aneh. Semenjak datangnya sekelompok jama’ah berpakaian gamis dan sorban ke kampung ini. Jama’ah itu salah alamat mengajak Pipih untuk sholat berjama’ah di masjid. Kontan saja Pipih geram, hingga terjadi adu mulut antara Pipih dan jama’ah itu.

Akhirnya, tanpa bertemu kedua orangtua kandungku, aku hanya menitipkan salam dan undangan pernikahan untuk mereka. Bi Ijah nampak senang dengan undangan pernikahanku dan berjanji akan datang. Tak dapat kubayangkan, entah apa yang terjadi nanti, jika di hari istimewaku nanti Mimih dan Pipih pun bisa hadir. Kami hanya berharap agar Mimih dan Pipih berkenan hadir dalam resepsiku lima hari yang akan datang. Tanpa terjadi hal-hal yang tidak diharapkan.

Seperti hari terakhir aku bertemu dengan Pipih sekitar tiga tahun lalu. Tepatnya ketika aku nekat berkunjung ke rumah ini, menengok keadaan orangtua kandungku. Dengan sambutan miris, nyaris saja Pipih membunuhku. “Tinggalkan ajaran bodohmu itu, atau peluru ini bersarang dikepalamu?” ancam Pipih seraya menodongkan pistolnya di pelipis kiriku. Keringat dinginku menderas kala itu. Ketakutan menguras seluruh tenaga di ragaku. Namun Mimih segera menepis tangan Pipih, hingga pistolnya meledak dan pelurunya bersarang di paha kiriku.

Ah..mengingat semua itu hanya membuatku bertambah pedih. Menyesakkan seluruh rongga dalam dada. Hingga buliran kepedihan tak mampu lagi kubendung dari mata airnya. Kali ini tangan Bi Ijah yang hinggap di bahuku. Sementara Arini menggenggam punggung tangan kananku. Setelah aku merasa tenang, aku dan Arini pun segera pamit pada Bi Ijah. Meninggalkan rumah masa laluku. Meninggalkan segala kenangan di rumah itu.

***

Kawasan Ciburial masih berselimut kabut pagi. Tetesan embun dari dedaunan seakan turut menyegarkan sejak awal hari. Setelah semalaman hujan membasahi bumi. Namun semua itu tak menyurutkan kesibukkan seisi pesantren dan hampir seluruh penghuni. Karena hari ini, separuh Diin-ku akan segera tergenapkan.

Semua telah dipersiapkan, mulai dari penyekatan dan dekorasi ruang walimatul ‘ursy, pemasangan soundsystem, hingga riasanku yang sederhana sebagai mempelai wanita. Selepas mentari naik sepenggalah, rombongan mempelai pria telah tiba di beranda pesantren. Kedatangan mereka langsung disambut gembira, hingga semua berkumpul di ruang utama masjid pesantren. Sementara aku didampingi Rida dan Arini serta beberapa orang dekat lainnya bergegas menuju masjid melalui pintu ruang mimbar.

Di balik mimbar kami mendengar sambutan-sambutan antara dua pihak mempelai. Gema suara-suaranya dari dalam masjid menembus jantungku yang kian berdebar di balik ruang mimbar. Terlebih lagi ketika aku mendengar Kyai Muchtar menyampaikan khutbah nikahnya. Setelah usai khutbah nikah, beliau pun bertindak sebagai wali hakim yang akan menikahkan aku dengan Irfan.

Persiapan ijab qabul nikah segera disempurnakan. Mempelai pria, wali, saksi dari dua pihak, dan mahar semua telah siap. Prosesi ‘mitsaaqan ghalizha’ pun segera dilaksanakan. Lalu terdengarlah suara khas Kyai Muchtar yang menggetarkan, “Saya sebagai wali hakim, menikahkan.. Raselia Hanifah putri kandung Bapak Darwin Salvasa, kepada Irfan Maulana bin Abdul Qasim dengan mahar 20 gram perhiasan emas, dibayar tunai…”

Seiring dengan itu, dari luar masjid terdengar suara mobil yang baru tiba. Lalu menyusul suara langkah tergesa setengah berlari. Dan… “TUNGGU..!!!” teriak seseorang dari luar masjid. “Tunggu…!!! Pernikahan ini tidak akan pernah sah!!!” ulangnya. Terang saja semua yang hadir terheran-heran dibuatnya. Aku sendiri tak tahu bagaimana respon mereka yang hadir di dalam masjid. Yang aku tahu, kami yang berada di balik mimbar saling berpandangan satu sama lain.

“Demi Tuhan Allah, pernikahan ini tidak akan pernah sah!!!” suaranya semakin jelas terdengar dari dalam masjid. Rupanya seseorang itu telah memasuki ruang utama masjid. Aku mengenal sekali suara itu. Suara yang sama dengan kata-kata cacian dan ancaman beberapa tahun lalu, “Apa-apaan kamu?!”, “Kamu mau jadi pocong, apa?!”, “Dasar anak dungu, tak tahu diuntung..”, “Tinggalkan ajaran bodohmu itu, atau peluru ini bersarang dikepalamu?”, dan kalimat-kalimat cacian serta ancaman yang tak layak diungkapkan seorang ayah kepada putrinya. Ya…itu suara Pipih.

Rasa takut mulai menyerang isi dadaku, menjalar keseluruh tubuh seiring aliran darahku. Seakan-akan rasa itu menguras seluruh tenagaku. Arini berusaha menenangkan aku, sementara Rida keluar dari mimbar untuk memastikan siapa yang berteriak-teriak itu. Rida segera kembali dengan wajah pucat pasi, “Pipihmu, Han..?!”. Semakin erat saja rasa takutku mencengkram seluruh  ragaku. Meruntuhkan segenap kekuatanku.

“Maaf Pak, Bapak ini siapa?” suara Kyai Muchtar bertanya. “Nama saya semula Darwin Salvasa, bapak kandung Raselia…?!” tegas Pipih. Kontan saja peristiwa itu mengejutkan semua yang hadir. “Maksud Bapak, nama semula?” tanya Kyai. “Ya..semula itulah nama saya, sekarang nama saya Ridwan Muhajir. Saya sudah muslim…” jawab Pipih dengan mantap. “Alhamdulillah..” seru mereka yang hadir di dalam masjid juga kami yang berada di balik mimbar.

Seakan tak percaya aku terperanjat bangkit dari tempat dudukku, dan berlari memasuki masjid dari pintu mimbar. Kemunculanku mengejutkan mereka seisi masjid, aku tak peduli. Yang kucari sosok Pipih, dia tengah berdiri dekat meja ijab qabul didampingi Mimih yang bertudung seadanya. Di belakang mereka berdua tepat di dekat pintu masuk masjid Nampak Bi Ijah tengah berdiri dengan cucuran keharuannya.

“Mimih, Pipih..” seruku seraya berlari ke arah mereka diiring derai kerinduan. Lembut tangan mereka menyambut. Dalam pelukan keduanya ada kelembutan yang sempat hilang dari hidupku. Tak henti-hentinya tangan mereka mengusap punggung dan kepalaku. Isak tangis tak terbendung lagi diantara kami. Tak sedikit dari mereka yang hadir turut haru menyaksikan kami bertiga.

“Maafkan aku, anakku…” suara Pipih melemah. “Maafin Rasel juga, Pih…” sahutku seraya memeluk Pipih. “Bukan…Aku bukan Pipihmu yang zhalim itu, Nak. sekarang aku Ayahmu yang akan melindungimu sepanjang hidupku.” ujar Pipih membangkitkan derasnya air mataku. Mimih tak henti-hentinya mengalirkan keharuannya seraya memeluk kami. Pelukan hangat penuh kasih sayang mereka yang selama ini aku rindukan.

Menghilangnya Ayah beberapa hari dari rumah ternyata berbuah hidayah. Ayah bermaksud mengintai dan mengikuti gerakan jama’ah yang tempo hari terlibat adu mulut di desanya. Besar dugaan Ayah bahwa jema’ah itu merupakan sebagian dari kelompok teroris. Namun Allah berkehendak lain, semakin ia mengikuti semakin ia jatuh hati pada kebaikan akhlaq mereka. Belakangan kami tahu bahwa kelompok jema’ah itu sering disebut Jama’ah Tabligh.

“Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya.” (QS Al-An’am, 6 : 88)
“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya. Dan mereka mempertakuti kamu dengan (sembahan-sembahan) yang selain Allah? Dan siapa yang disesatkan Allah maka tidak seorangpun pemberi petunjuk baginya. Dan barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak seorangpun yang dapat menyesatkannya.” (QS Az Zumar, 39 : 36-37)

Suasana haru kini mulai mereda, namun aku masih tak mampu menyembunyikan bulir-bulir haru disudut mataku. Persiapan ijab qabul pun dilanjutkan. Kali ini Pipih..maaf..Ayahku langsung yang menjadi waliku.

“Saya nikahkan.. Raselia Hanifah binti Ridwan Muhajir…” suara Ayah terputus menahan tangis. Dua kali Ayah mengulang kalimat itu dua kali pula suaranya terputus. Hingga untuk ketiga kalinya, “Saya nikahkan.. Raselia Hanifah binti Ridwan Muhajir, kepada Irfan Maulana bin Abdul Qasim dengan mahar 20 gram perhiasan emas, dibayar tunai!!!”

Suara Irfan segera menyambut, “Saya terima nikahnya Raselia Hanifah binti Ridwan Muhajir, dengan mahar 20 gram perhiasan emas, dibayar tunai…”. “Alhamdulillah…”. “Barokallohu laka wa baaroka ‘alaika wa jamaa’a bainakuma fii khoir.” (Semoga Allah memberkahimu dan menetapkan berkah atasmu, serta mengumpulkan engkau berdua dalam kebaikan.) (HR Ahmad)

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS Ar Ruum, 30 : 21)

Minggu, 09 Oktober 2011

Dermaga Senja


أَمْسَيْنَا وَأَمْسَى الْمُلْكُ للهِ، وَالْحَمْدُ للهِ، لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهَا، وَأَعُوذُبِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهَا، رَبِّ أَعُوذُبِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَسُوءِ الْكِبَرِ، رَبِّ أَعُوذُبِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ.

“Kami telah memasuki waktu sore dan kerajaan hanya milik Allah, segala puji bagi Allah. Tidak ada ilah (yang berhak disembah) kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Milik Allah kerajaan dan bagi-Nya pujian. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.Ya Rabbku, aku mohon kepada-Mu kebaikan di malam ini dan kebaikan sesudahnya. Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan malam ini dan kejahatan sesudahnya. Ya Rabbku, aku berlindung kepadaMu dari kemalasan dan kejelekan di hari tua. Wahai Rabbku, aku berlindung kepada-Mu dari siksaan di Neraka dan siksaan di kubur.” HR. Muslim (4/2088, no. 2723)

Selepas kulantunkan dzikir petang di serambi Masjid Pasirjaya Cilamaya Jawa Barat. Sabtu petang itu aku bergegas menuju dermaga di tepi pantai utara Cilamaya. Diiringi mentari yang masih cukup hangat menyengat. Namun perlahan ia tengah bersimpuh di ufuk barat.

Tak cukup lama aku tiba di dermaga yang dijanjikan. Sepoi angin pantai menyambut kedatanganku diiring deburan ombak yang bersahutan. Di sinilah janji pertemuan dengan sahabat lama yang pernah kudambakan. Namun semua itu hanya angan. Sebab aku tak pernah megungkapkannya.

Duduk di tepi dermaga dalam kesendirian. Kutatapi kaki langit yang jingga seraya cumbui angan. Keindahan senja yang dulu pernah ku puja, kini terasa biasa saja. Setelah kau dan aku tak lagi bersama.

Masih tergambar jelas ukiran tangannya yang terpahat di ujung dermaga. Ungkapan hati yang tak bisa ku pungkiri. Ukiran rasa yang meresap ke dalam jiwa. Tak hanya terpahat di sana, namun ia pun terpahat di sini, di hati ini.

"Adakah jiwamu menyapa seperti jiwaku menyapamu?
Adakah hatimu berkata bahwa aku mengagumi diammu?
Izinkan aku untuk berlabuh
Di dermaga hatimu yang teduh
Merengkuh cinta dalam ridho-Nya
Berpagut rindu dalam rahmat-Nya..."

Masih terbuai dalam angan yang telah lalu, sesosok bayangan perlahan menghampiriku. Kupastikan bayangan itu seraya memalingkan wajah ke arah kiriku.

"Assalaamu'alaikum...udah lama nunggu, Di?" ucap Siti menyapa sendiriku.
"Wa'alaikumsalaam warohmatullah... Belum sih, tapi kalau setengah jam lagi, kayaknya Ardi bakal lumutan nih..." gurauku.
"Maaf ya, Di… Siti telat. Disuruh kakak beli obat." ujarnya dihiasi senyum.

“Siti Fatimatuz Zahra, kau semakin mempesona. Bukan karna cantikmu, tetapi karena jilbabmu yang berbeda.” Ungkapan ketakjubanku dalam batin. Ya...kerudung indahnya yang dulu kini berganti menjadi jilbab sederhana. Setelan jaket dan celana  jeans yang biasa dikenakannya, kini berganti gaun panjang yang menambah pesonanya.

Kami pun mulai bercengkrama. Saling bertanya kabar dan keadaan kami berdua. Bercerita masa lalu saat kami masih bersama, hingga akhirnya terpisah karena urusan kuliah.

Siti sahabat perempuan terbaikku. Tak ada masalah di bahuku melainkan Siti tahu akan hal itu. Mulai dari masalah agama, keluarga hingga masalah pribadiku. Begitu pun sebaliknya, Siti tak pernah lupa berbagi bebannya denganku. Hingga muncullah rasa itu. Keinginan saling memiliki yang terpendam di dasar hati. Namun kami memilih diam dan hanya saling mengagumi dalam hati.

Tiga tahun lalu sebelum kami berpisah, aku bermaksud pamit pada Siti untuk berhijrah melanjutkan studiku di bangku kuliah. Di dermaga itulah aku cukup lama menunggunya. Tanpa sadar aku membaca pesan terakhirnya yang terpahat dalam ukiran di ujung dermaga. Dan Siti pun tak kunjung tiba hingga mentari kembali ke peraduannya.

Sejak saat itu, kami tak pernah lagi bertemu. Aku kuliah di Politeknik Manufaktur Bandung, sedangkan Siti memilih bekerja di kota hujan, Bogor. Tak ada kabar lagi, tak ada berita lagi. Hingga kuputuskan untuk berkhitbah pada seorang pilihan Allah. Seorang wanita yang tak lebih cantik dari sahabatku, Siti. Namun cukup baik agamanya.

Idul Fitri ketiga setelah aku dan Siti berpisah, Allah mempertemukan kami kembali. Semacam ujian atas keistiqamahanku pada pilihan Allah. Dan di dermaga ini lah janji pertemuan kami.

“Di…”, “Ti...” ungkapku bersamaan dengan Siti.
“Ardi duluan deh…” kata Siti.
“Nggak apa-apa, Siti aja dulu…silakan.”

“Mmh…ada kabar baik…” ungkap Siti memancing rasa penasaranku.
“Oh ya? Siti mau nikah yah?” tanyaku sok tahu.
“Iiih…bukaan…” jawabnya manja.

Mungkinkah dia sudah berkhitbah juga? Agar aku merasa tenang ketika aku harus mengabarkan bahwa aku sudah berkhitbah. Dan minggu depan aku segera menikah.

“InsyaAllah, Di…mulai  Senin nanti Siti di pindahin kerjanya ke Bandung. Perusahaan kami membuka cabang baru di sana. Jadi kita bisa sering ketemu lagi di sana.” ungkap Siti berbahagia.

“MasyaAllah…” ungkapku membathin.
“Kalau Ardi tadi mau bilang apa…?” tanya Siti.
“Mmh…entah kabar baik, entah kabar buruk…”
“Lho kok gitu? Emangnya kenapa?”

Ada rasa ragu untuk mengungkapkan kenyataan. Tapi aku harus mengatakannya. Sebelum kuungkapkan, aku menanyakan tentang kepindahannya ke Bandung.
“Ngomong-ngomong…Siti pindah ke Bandung memang ditunjuk sama perusahaan atau…”
“Siti yang minta…” jawabnya memotong kalimatku.
“Setelah ada kabar bahwa perusahaan membuka cabang baru di sana, Siti yang pertama kali mengajukan diri. Dan alhamdulillah, pihak perusahaan menyetujui.”

Sudah kuduga… Semakin berat saja keinginanku mengungkapkan bahwa aku sudah berkhitbah. Entah harus bermulai dari mana aku mengabarkannya.

“Lanjutin dong…Ardi kan belum bilang kabar Ardi…” pinta Siti.
“Bingung, Ti… Ardi bingung ngungkapinnya…”
“Tinggal bilang aja… Ardi mau nikah ya?”

Seketika itu angin di pantai utara Cilamaya menrepa kami berdua. Berhembus menggerakkan helai-helai rambut dan pakaianku, juga mengibarkan helaian jilbab yang dikenakannya. Meski Siti hanya menduga-duga, namun tepat seperti dugaannya.

“InsyaAllah, Ti… sebelum bulan Ramadhan  Ardi sudah khitbah, dan minggu depan Ardi nikah.” ungkapku merasa mantap, dan berharap Siti bisa mengerti. Tapi sesaat kemudian aku merasa bodoh, berbicara rencana nikahku di hadapan orang yang justru ingin kunikahi.

“Beneran? Alhamdulillah…” ungkap Siti dengan senyum riang. Tak kuduga, Siti begitu riang mendengarnya. Seakan ia turut berbahagia. Namun tak lama ia pun beralih memilih duduk di bangku dermaga. Sementara aku masih duduk dipagarnya.

Dengan jarak itu kami terus bercengkrama. Tentang rencana kepindahannya dan rencana pernikahanku. Juga tentang orang yang akan kunikahi. Dan orang-orang yang pernah aku istikharahi, termasuk Siti.

Sejenak aku terdiam, begitu pun adanya Siti. Hanya desiran angin yang menyapa kami, disertai deburan ombak yang turut bernyanyi. Dan perlahan mentari kian tenggelam. Pertanda hari kan berganti malam. Sayup-sayup kumandang adzan mulai singgah di telinga kami.

Siti pun segera pamit meninggalkan dermaga dengan tergesa. Namun aku tak segera menyusulnya. Terlebih dahulu aku menghampiri tempat duduknya semula. Di atas meja sekitar bangku dermaga aku melihat ada tetesan-tetesan air di sana.

Desir angin kian menyapaku. Padanya kutitipkan pesan untuk sahabatku,

“Wahai Angin…
Sampaikan maafku padanya…
Maafkan aku yang tak memilihnya

Sekiranya bukan karena istikharah
Jikalah bukan karena pilihan Allah
Tentu aku akan memilihnya
Tetapi Allah telah tentukan semuanya
Dan Allah tahu yang terbaik bagi hamba-hambaNya…”

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (QS Al Ahzab : 36)

Bingkai Berdebu



Suara bising mesin bus ekonomi Bandung-Jakarta rasanya masih bergemuruh di telinga Kamil. Begitu pun nyanyian para pedagang asongan yang bergantian menghampiri penatnya, seakan masih mengalun merdu dalam pendengaran. Belum lagi suara-suara sumbang gitar dan tabuhan perkusi para pengamen jalanan, seakan masih mengiang-ngiang di sekitar telinganya. Semua suara-suara itu kini berganti dengan suara hiruk pikuk Ibukota. Atmosfer yang baru ia hirup sepanjang hidupnya. Karena baru kali itu ia menginjakkan kaki di Ibukota Jakarta, tepatnya di bilangan Jakarta Timur.



Sesampainya di terminal Kampung Rambutan, Kamil segera mengeluarkan catatan kecil dari tas punggungnya. Di sana tertulis “dari Kp. Rambutan naek 08 sampai TMII…”. Kamil pun segera mencari angkutan kota 08. Dari Kampung Rambutan, ia bermaksud menuju Bambu Apus. Namun…“Udah hampir Zhuhur..cari masjid dulu aja lah..” gumamnya. Masih dalam angkot 08 yang cukup sesak penumpangnya, tepat di perempatan Garuda, Kamil mendengar seruan adzan Zhuhur. Ada gemuruh dalam dadanya. Gemuruh rindu ingin segera berkhalwat dengan Rabbnya. Tanpa diminta, supir angkot 08 segera menancap gasnya lebih kencang. Namun Tak lama kemudian Supir Berpeci itu menepikan mobil angkotnya ke arah kiri. Tepat di depan Masjid At-Tiin, tak jauh dari Taman Mini.


“Penumpang maaf ye, aye mau sholat dulu nih. Yang mau nuggu, boleh. Tapi kalau mau pindah juga boleh dah…kagak usah bayar.” ujar Supir Berpeci pada para penumpang dengan senyum ramahnya. Hampir seluruh penumpang memilih beralih ke angkot lain. Sementara Kamil segera menyusul langkah Supir Berpeci menuju masjid, menunaikan sholat zhuhur berjama’ah. Sebelum iqomat, Kamil sempat menunaikan dua rakaat qobliyah. Setelah berjama’ah zhuhur, Kamil pun tak melewatkan ba’diyahnya.


Sebelum beranjak dari tempat bersimpuhnya, dikeluarkannya mushaf kecil cetakan timur tengah yang selalu menemaninya. Ditariknya benang hijau tanda pembatas, lalu ia pun mulai melantunkan ‘surat cinta’ dari Rabbnya, dengan suara lemah lembut dan merdunya. Satu kebiasaan baginya bertilawah selepas sholat fardhu. Minimal dua lembar. Sehingga seharinya ia bisa menyelesaikan 1 juz, kadang lebih.


Rupanya Sang Supir Berpeci yang tak jauh dari tempat Kamil mendengar sayup-sayup lantunan itu. Keinginannya melanjutkan pekerjaannya tertunda karena suara Kamil yang merdu. Ia nampak menikmati alunan suara itu, hingga suara Kamil terhenti setelah sampai di ayat,
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’.” (QS Al Isra’, 17 : 23 -24)


Kamil tak mampu melanjutkan tilawahnya. Suaranya menyesak. Lantunan merdu telah berubah menjadi terisak-isak. Sang Supir Berpeci pun tersentuh hatinya. Rasa kagum memenuhi sanubarinya. Dihampirinya Kamil yang terhenti dari tilawahnya.
“Assalaamu’alaikum, ente baek-baek aje?” sapa Supir Berpeci seraya merangkul bahu Kamil.
“Wa’alaikum salam…” sahut Kamil singkat seraya menganggukkan kepalanya.
“Aye betah denger ngaji ente, eeh..malah berenti. Kenape ente nangis?” ujar Supir Berpeci menenangkan Kamil, mengelus-elus punggungnya.
“Gak apa-apa, Bang. Saya baik-baik aja” jawab Kamil sambil mengusap airmatanya.


Kamil menyembunyikan perasaannya. Membaca ayat itu mengingatkannya pada Bapak kandungnya. Sejak kecil ia ditinggal Bapaknya. Bahkan ia pun tak ingat seperti apa rupanya. Selama ini ia tinggal bersama Ibu kandungnya. Rupanya Kamil menangis karena merindukan sosok Bapak kandungnya.


Supir Berpeci mengerti, ia tak sepatutnya tau masalah Kamil. Segera ia pun mengajak Kamil ke kantin di halaman masjid At-Tiin. Di sana mereka bersantap siang. Tempat biasa makan siang bagi Supir Berpeci itu. Mereka pun mulai berbincang berkenalan. Supir Berpeci jadi tau bahwa Kamil baru tiba di Jakarta. Kamil bermaksud berkunjung pada calon mertuanya, di Bambu Apus. Ia telah meminang seorang akhwat yang sudah ia kenal semasa di kampusnya di Bandung.


“Udeh…Aye yang bayar…!” kata Supir Berpeci membayari santap siang mereka.
“Gak usah, Bang. Saya masih ada uang, kok..” tolak Kamil.
“Bukan masalah uangnye.. Ente kan tamu aye sekarang ini. Jadi kewajiban aye ngemuliain ente sebagai tamu aye..” ujar Supir Berpeci memaknai sebuah hadits,
‘Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia memuliakan tamunya.’ (HR Bukhari).


Usai membayar makan siangnya, Supir Berpeci bermaksud pamit untuk menyusuri trayek angkotnya kembali. Ia mengingatkan Kamil untuk berhati-hati di Ibukota ini. “Ibukota lebih kejam dari Ibu Tiri…” candanya. Tak lupa ia juga memberi tau Kamil, dari depan masjid At-Tiin Kamil bisa naik angkot 01 jurusan Bambu Apus. Tempat yang dituju Kamil. Setelah Kamil mendapatkan angkot 01, Supir Berpeci pun berlalu membawa angkotnya kembali.


Tak sampai 15 menit, Kamil sudah tiba di alamat yang dituju. Tempat tinggal calon mertuanya yang baru sekali bertemu saat proses khitbah, itu pun hanya pihak Ibu. Karena alasan dinas, Bapaknya tak sempat hadir waktu itu. Proses khitbah memang dilaksanakan di Bandung sebulan yang lalu. Proses sederhana yang berlangsung di rumah Neneknya dari pihak Ibu. Kedatangan Kamil ke rumah itu di sambut gembira calon istrinya, Shofiyya.


Shofiyya masih duduk di semester 3 di Fakultas Psikologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Sementara Kamil hampir menyelesaikan Tugas Akhirnya di kampus dan fakultas yang sama. Ada kemiripan di wajah keduanya, pertanda jodoh menurut sahabat-sahabatnya. Mereka dita’arufkan beberapa sahabatnya, hinga berkhitbah. Setelah proses khitbah, Shofiyya sering mampir menengok Ibu Kamil, meskipun Kamil tak ada di rumah. Kedekatan Shofiyya dan Ibu Kamil begitu akrab. Bahkan Shofiyya sudah menganggapnya sebagai Ibu sendiri. Tak jarang Kamil merasa iri dengan keakraban mereka.


Namun di sisi lain, Ibu Kamil sering mengingatkan Shofiyya agar jangan terlalu sering menengoknya. Khawatir terjadi fitnah. “Kalian kan baru tunangan, belum nikah. Belum ada hak apa-apa..” ujar Ibu Kamil mengingatkan. Namun karena kasih sayang Shofiyya yang tulus lillahi ta’ala, Shofiyya tetap sering menengoknya. “Shofi ikhlash kok Bu…! Walaupun jika Shofi bukan jodoh Kak Kamil, Shofi tetep akan sayang sama Ibu.” ungkapnya di kala itu.


 “Masuk Nak Kamil, anggap aja rumah sendiri. Gak usah sungkan.” sambut Ibunya Shofiyya yang memang mudah akrab dengan siapa saja. Terlebih lagi kepada calon menantunya. “Harap maklum ya, beginilah keadaan rumah kami. O iya..Sambil nunggu Shofiyya bikin minum, silakan Nak Kamil boleh liat-liat koleksi buku Papahnya tuh.” ujarnya sambil menunujukkan satu lemari yang nyaris dipenuhi berbagai buku-buku tebal.


Pandangan Kamil mulai menyusuri lemari buku. Pandangannya menjamah setiap jengkal isi lemari itu. Ada 8 jilid Kitab Tafsir Ibnu Katsir lengkap 30 juz, kitab-kitab hadits Shahihain dan Arba’in juga tersusun rapi di situ. Belum lagi kitab-kitab lain yang sudah tak asing bagi Kamil. Hingga akhirnya pandangan Kamil terhenti pada sebuah bingkai berdebu. Tanpa sadar diraihnya bingkai itu lalu ditatapinya. Dalam bingkai berdebu itu Kamil melihat seorang lelaki gagah tengah berdiri. Sementara di samping kanannya, seorang perempuan sedang duduk di kursi sambil menggendong bayi laki-laki. Di sudut kiri bawah foto itu tertulis ‘5 Desember 1984’. “Dua puluh dua tahun lalu, tepat satu tahun usiaku.” gumamnya.


"Itu foto Papah sama istri dan anak pertamanya.." ujar Shofiyya yang baru tiba seraya membawa secangkir kopi dan sepiring makanan ringan. "Aku pikir..aku lah anak pertama. Ternyata aku punya Kakak tiri laki-laki dari Papah. Kami terpaut sekitar 3 tahunan kata Papah. Tapi sampai saat ini, kami belum pernah bertemu. InsyaAllah, mungkin suatu saat nanti, semoga Allah mempertemukan kami sekeluarga.." lanjutnya.


“Di mana mereka sekarang?” tanya Kamil ingin tau.
“Istri dan anak pertamanya? Entahlah..semenjak Papah bercerai dengan istri pertamanya Papah hijrah ke Lampung. Lalu menikahi Mamah…“ papar Shofiyya.
“Empat bulan sebelum Shofi lahir, Papah Shofi dipindah tugaskan di sini.” sambung Ibunya tiba-tiba.
“Sesekali ia berkunjung ke kampungnya di Leuwigoong Garut, untuk menengok putranya. Tapi mereka sudah pindah dari sana. Tak ada yang tahu kemana.” lanjutnya.


Cukup lama mereka bertiga melanjutkan perbincangan. Hingga membicarakan rencana pernikahan. Tak terkecuali besarnya mahar yang tidak ditetapkan oleh Shofiyya. Tak memberatkan bagi Kamil. Karena Shofiyya cukup memahami keadaan keluarga Kamil. Selain itu Shofiyya faham betul akan sebuah hadits, “Wanita yang paling besar barakahnya ialah wanita yang paling mudah (murah) maharnya.” (HR Ahmad, Al Hakim, dan Al Baihaqi)


Perbincangan mereka kini beralih ke arah halaman rumah. Di mana sebuah mobil angkot 08 baru tiba dan parkir di sana. Supirnya tak asing dalam pandangan Kamil. Ya…Sang Supir Berpeci. Ia membawa seorang penumpang, seorang lelaki gagah separuh baya. Lelaki itulah calon Bapak mertua Kamil. “Tuh, Papah pulang di anter Bang Tohir, Mah…” sahut Shofiyya menyambut kedatangan mereka berdua.


Dari dalam ruang tamu, mereka bertiga cukup jelas mendengar suara lantang Bang Tohir, Sang Supir Berpeci. “Tadinye aye kagak tau, Cang…kirain ntu anak mude bukan mau ke mari. Untung aye cerita di pangkalan angkot.” tutur Udin kepada lelaki itu. Tak lama, kedua lelaki itu muncul di depan pintu. Setelah mengucap salam, Kamil Shofiyya dan Ibunya menyambut mereka berdua.


Rupanya Bang Tohir adalah kakak sepupu Shofiyya. Seorang supir salah satu angkot di pangkalan milik Bapaknya. Di pangkalan angkot ia menceritakan perjumpaannya dengan pemuda di masjid At Tiin. Yang mengingatkan pemilik pangkalan angkot 08 itu untuk bertemu dengan calon menantunya. Segera saja Bapak Shofiyya minta diantar pulang. Dan tak salah lagi, pemuda yang diceritakan Bang Tohir itulah yang tengah dinantikan kedatangannya.


Setelah Kamil memperkenalkan diri pada calon Bapak mertuanya. Perbincangan mengenai rencana pernikahan pun berlanjut. Hingga rencana shilaturahim keluarga Shofiyya ke kediaman Kamil dan Ibunya.


***


“Shofi memang gadis cantik dan baik, Ka…” ujar Ibu Kamil suatu malam selepas Isya.
“Tapi nurani Ibu menolak dia jadi istrimu…” lanjutnya.
“Kenapa begitu, Bu? Apa yang Ibu gak suka dari Shofi?”
“Bukan begitu…Ibu sadar, Ibu sayang sama Shofi. Tapi entahlah…rasanya sulit Ibu ungkapkan.”
“Bu.. Kaka ngerti kekhawatiran Ibu. Nanti setelah kami menikah, Kaka tidak akan meninggalkan Ibu. Siapa yang mau nemenin Ibu kalau bukan kami nanti…”
“Apa Kaka yakin kalau kalian ada jodoh?”
“Hampir tiap malam Kaka istikharah, Bu..”
“Hasilnya?” tanya Ibu singkat.
“Hmm..entahlah. Kaka masih belum dapat jawaban dari Allah.”
“Coba koreksi lagi istikharahnya.. Buat apa Kaka istikharah, kalau di hati Kaka masih menyimpan harapan pada selain Allah. Apa Allah mau nerima istikharah macam itu?”


Kamil diam tertegun. Dia menyadari bahwa selama ini ia menyimpan harapan besar pada pilihannya, Shofiyya. Kamil lupa menggantungkan harapannya pada Allah saja. Dia pun lupa bahwa Allah yang akan menetukan hasilnya.


Kamil segera mendekati Ibunya yang tengah duduk dikursi. Menyandarkan dada di kedua lutut Ibunya seraya bergenggaman jemari.
“Kaka hanya berharap Ibu meridhoi, supaya Allah pun meridhoi.”
“Untuk hal lain Ibu ridho, tapi untuk nikah sama Shofi Ibu belum bisa ridho, Ka…” jawab Ibunya yang tak mampu lagi membendung lelehan air melintas di pipi.


Kamil merebahkan sebagian tubuhnya di atas pangkuan Ibu. Melingkarkan kedua tangannya memeluk badan Ibu. Bermaksud menenangkan dan membujuk hati Ibu. Suara Kamil nampak sendu.
“Tapi Bu…”
“Tidak ada tapi…! Kaka tidak boleh nikah sama Shofi…” tegas Ibunya.
“Bu… Kaka udah terlanjur janji pada keluarga Shofi… Apa kata mereka nanti?”


Di ruang itu, bersahutan isak tangis dari keduanya. Ibu Kamil tak mampu lagi berkata-kata. Hanya mampu mencucurkan air mata, dan menahan semampunya suara isaknya. Di balas buliran kegalauan Kamil di atas pangkuan Ibunya. Lembut jemari Ibu tulus menyusuri tiap celah rambutnya. Sesuatu yang kelak akan dirindukannya.


Tanpa Kamil sadari, beberapa orang sudah berada di ruang itu. Kedatangan mereka yang tiba-tiba cukup menjawab kekhawatiran Ibu. Ibu mengenali gadis itu, seorang gadis yang dikenal Ibu sebagai gadis cantik dan baik. Ibu juga masih mengenal sosok lelaki gagah yang tengah berdiri di dekat pintu. Rupanya mereka mendengar jelas ucapan terakhir Ibu, “Tidak ada tapi…! Kaka tidak boleh nikah sama Shofi…”.


“Ibu benar, Ka…” ucap Shofiyya seraya merangkul bahu Kamil. Kamil cukup terkejut mendengar suara Shofiyya, sekaligus dengan sentuhan di bahunya. “Astaghfirullah..Shofi, apa maksudnya ini?” seru Kamil seraya membangkitkan wajah yang masih bersimbah dari pangkuan Ibunya. Shofiyya dan Kamil saling menatap dalam-dalam. Kebekuan meliputi dalam pandanganmereka. Tak samar lagi pelupuk mata Shofiyya pun mulai berkaca-kaca. Sementara Ibu semakin tak kuasa membendung tetesan kasih sayang dari matanya.


“Ibu benar, Ka… Kita tidak boleh menikah!!!” ujar Shofiyya yang mulai menitikkan air matanya.
“Tidak..tidak.. Kenapa tidak boleh?” ujar Kamil menolak, seraya melepaskan rangkulan tangan Shofiyya dari bahunya. Lalu sosok lelaki gagah itu menghampiri mereka, ia pun merangkul bahu Kamil menggantikan Shofiyya. Dengan suara lirih ia berkata,
“Karena…dalam darah Shofi ada darah yang sama seperti dalam darahmu. Dalam darah Shofi ada darah Bapakmu. Shofi adalah adik tirimu. Dan akulah Bapakmu, wahai Kamil Musytaqiin…?!?!” suaranya memecah kebekuan diruang itu. Suara isak semakin keras terdengar memenuhi ruang yang membisu.


Melayang sudah angan Kamil mendengarnya. Raganya di sana namun jiwanya entah ke mana. Seakan jiwanya pergi menghindari keadaan yang tak berpihak padanya. Karena ia tak pernah mengira Shofiyya adalah adik tirinya yang diharamkan jika ia menikahinya.
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An Nisaa’, 4 : 23)


Masih dalam isak tangis, perlahan Shofiyya mengeluarkan bingkai berdebu itu dari tas rajut yang dibawanya. Shofiyya menyerahkan bingkai itu kepada Kamil,
“Lihat, Ka… anak lelaki yang tampan dalam bingkai berdebu ini adalah Kaka..
Shofi baru menyadari bahwa nama Kaka tertulis dibelakangnya…”


Kamil pun segera membalikkan bingkai berdebu. Benar saja, di sana tertulis ‘Milad 1 tahun, Kamil Musytaqiin (5 Desember 1983)’.
“Awal Bapak ketemu kamu, Bapak sudah merasa dekat sekali degan kamu. Hingga Bapak banyak bertanya pada Shofi tentang  asal-usul keluargamu. Dan Shofi menceritakan semuanya, seperti yang pernah Ibumu ceritakan padanya…”


Kamil segera memeluk erat Bapaknya. Sosok lelaki gagah dalam bingkai berdebu yang selalu dirindukannya. Sementara Ibu berpelukan tangan bersama Shofiyya. Menyaksikan harunya pertemuan antara anak lelaki tampan dan Bapak kandungnya.


Bingkai Berdebu pun turut menjadi saksi yang membisu. Saksi saat perpisahan mereka dua puluh tahunan yang lalu, hingga saksi saat perjumpaannya di hari itu.