Sabtu, 29 Oktober 2011

Berselimut Selembar Kabut


Hawa dingin bukit Jayagiri Lembang menyambut kedatanganku bersama Arini. Ia mulai terasa menyusup lembar-lembar jilbab kami. Aroma khas pohon-pohon pinus pun masih menyengat dalam penciuman kami. Membawa ingatanku semasa kecil hingga remajaku dulu. Di desa inilah aku dibesarkan, tepatnya di belakang gereja besar yang ada dihadapanku kini. Sampai aku diusir dari sini 5 tahun lalu. Karena aku memilih jalan yang tak direstui Pipih, bapak kandungku yang bertugas sebagai seorang pendeta di gereja ini. Dahulu setiap Sabtu sore di gereja inilah kami sekeluarga mengikuti kelompok belajar Alkitab.

Semua berawal ketika aku duduk di sebuah SMK di Bandung. Di sekolah itulah aku mendapat hidayah.  hingga aku mengucap dua kalimah syahadah. Aku pun turut aktif dalam kegiatan rohis sekolah dan keputrian, meskipun belum berjilbab. Aku memulai dengan belajar wudhu’ dan sholat. Tidak ada basuhan air yang menenangkan qalbuku, selain air wudhu’. Begitupun ketika aku berdiri melaksanakan sholat, ada ketenangan yang menepiskan kegundahanku selama jahiliyah dulu.

Sejak itu ketika dirumah aku sering melaksanan sholat secara sembunyi-sembunyi  di dalam kamar yang terkunci. Tak satupun anggota keluargaku yang tahu tentang keislamanku yang sudah hampir empat bulan. Hingga suatu ketika saat aku hendak melaksanakan sholat Isya. Rupanya Pipih memperhatikanku yang baru keluar dari kamar mandi berbasuh air wudhu’. Di dalam kamar perlahan aku mengeluarkan sajadah dan mukena pemberian guru agamaku di sekolah. Setelah semuanya siap, aku pun mulai bertakbir, “Allahu Akbar” bisikku pelan.

Satu raka’at belum kuselesaikan, namun tiba-tiba.. “Raselia…” seru Pipih dari ruang keluarga mengejutkan sholatku. “Raselia …!!!” suaranya semakin jelas mendekat. Aku pun mempercepat sholatku. Namun seruan pipih kian mendekat ke arah kamarku yang terkun.. ”Gawat!!! Aku lupa mengunci pintu!!!” gumamku tak khusyu’. Perang berkecamuk dalam bathinku. Apakah aku harus membatalkan sholat untuk memenuhi panggilan Pipih? Atau tetap tunduk dalam memenuhi panggilan Allah?

Tapi semua terlambat, Pipih sudah membuka pintu kamarku dan menyaksikan putrinya berdiri di atas sajadah berbalut mukena. Kontan saja Pipih geram, dia langsung berlari ke arahku yang kini mulai ruku’ dalam raka’at kedua. Tanpa pikir lagi Pipih langsung menendang pinggul kananku, memukul kepalaku, hingga membuatku terpental dan tersudut ke dinding sebelah kiriku.

“Apa-apaan kamu?!” bentaknya seraya merenggut mukena dari kepalaku. “Kamu mau jadi pocong, apa?!” seraya melemparkan kembali kain mukena ke wajahku. Menyusul kaki kanannya menendang punggungku membuatku makin tersungkur di sudut lantai dan dinding yan membisu. Keganasan semakin nampak di raut mukanya membangkitkan ketakutanku kala itu. Laksana harimau yang siap menerjang musuhnya.

Cacian, pukulan dan tendangan itu seakan-akan dia bukan Pipih yang dulu. Bahkan satu termos air panas pun disiramkannya ke sekujur tubuh putri semata wayangnya. Mimih pun tak dapat berbuat apa-apa. Mimih hanya menangis meraung-raung. Antara menangisi anaknya yang durhaka terhadap ajaran mereka, atau menangisi anaknya yang tengah disiksa suaminya. Aku tak kuasa lagi mengingat semuanya.

Mungkin harus begitulah ujian atas keimananku, seperti yang Allah firmankan,
“Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang sebelum mereka dan benar- benar Allah mangetahui orang-orang yang benar dan mengetahui pula orang-orang yang dusta. (QS Al-Ankabut, 29 : 2-3)

“Hanifah, kamu baik-baik aja kan?” sapa Arini menyebut nama muslimahku menyadarkan aku dari lamunan. Pelukannya menenangkan aku yang sudah melelehkan bulir-bulir hangat melintasi pipi. Hanya air mata itu yang mampu aku ungkapkan ketika mengingat peristiwa hari itu.

“Iya, aku baik-baik aja Rin.. Hanya teringat kejadian masa lalu.” ungkapku seraya menghapus lintasan di kedua pipiku. “Ya udah, sekarang kamu udah siap kan ketemu orangtuamu?” tanya Arini membangkitkan keyakinanku. “InsyaAllah, mudah-mudahan Allah membukakan hati mereka ya, Rin..” ujarku. “InsyaAllah, aamiin.. Innnallaha ma’aana.” lanjut Arini.

***

Langkah kami pun mulai menyusuri jalan kecil di samping kiri gereja. Menuju kediaman orangtuaku yang sudah tiga tahun terakhir ini tak ada kabarnya. Dari kejauhan rumah orangtuaku nampak sepi dari kehidupan penghuninya. Sesampainya di halaman rumah mereka, bulir-bulir kepedihanku kembali mengalir dari pelupuk mataku. Ingatanku kembali melayang pada peristiwa terakhirku di rumah ini.

Sepeninggalnya aku dari rumah ini, aku dipasung Pipih. Meskipun Mimih tampak berat dengan tindakan Pipih, tetapi Mimih tetap tidak bisa menerima kenyataanku menjadi seorang muslimah. Selain dipasung malam itu pula aku diasingkan di hutan pinus. Tak ada lagi suara bentakkan Pipih. Tak ada lagi raungan tangis Mimih. Hanya dengkuran serangga di tengah kelam, dan tarian dahan-dahan pinus yang bergesekkan karena terpaan angin lembut di puncaknya.

Dingin kabut kian mencumbu sekujur tulangku. Denyut-denyut kesakitan dari luka-luka memar kian terasa di hampir sekujur badanku. Dalam keadaan kaki terpasung dan tangan terikat, aku teringat bahwa shalat ‘Isyaku belum kusempurnakan. Aku pun berusaha melepas ikatan di pergelangan tangan. Cukup sulit untuk kuleraikan, namun berkat keinginan kuat untuk menyempurnakan sholat, Allah memberiku kekuatan hingga ikatan itu berhasil kulepaskan. Dan kusempurnakan sholat ‘Isyaku semampu keadaanku. 

Malam itu kabut memenuhi seisi hutan. Selain pakaianku yang seadanya, kabut itu pula yang menjadi selimutku. Selepas kelelahan atas ujian keimanan malam itu, Allah melelapkan tidurku. Sayup-sayup lembut adzan shubuh menyapa telingaku. Entah dari masjid mana atau surau mana. Atau hanya ilusiku yang merindukan ketenangan dalam sholatku. Aku pun bergegas tunaikan sholatku. Berwudhukan embun dari rumput-rumput disekitarku. Bermukena kabut yang masih setia menyelimutiku. ‘Semoga Allah memaklumi keadaanku’, pikirku ketika itu.

Beruntungnya, selepas fajar menyingsing seorang tukang kebun menemukan aku. Dia yang membantuku terlepas dari pasungan. Dan membawaku ke rumahnya yang tak jauh dari hutan Jayagiri. Dari sana aku disarankan untuk hijrah ke sebuah pesantren di daerah Dago Pakar Bandung. Di sanalah aku banyak belajar dan berbakti.

Arini kembali memelukku, menyadarkan aku dari kenangan masa lalu. Isyarat kepalanya membujuk aku mendekati pintu. Di kaca jendela rumah itu masih tertempel logo salib putih bersama burung merpati. Logo yang sama pada kaca belakang sebuah mobil yang nyaris merenggut nyawaku beberapa tahun lalu. Makin deras  saja lelehan air mata membasahi pipiku, teringat peristiwa itu.

Ketika itu aku bersama Rida sahabatku pengurus pesantren, kami baru keluar dari sebuah bank konvensional. Dari sana kami harus menyebrangi jalan untuk mendapatkan angkutan umum tujuan pulang ke pesantren. Lampu merah menyala pertanda wajib berhenti bagi kendaraan, kami pun mulai menyebrang. Namun sebuah mobil meluncur dengan cepat dari arah kanan. Aku dan Rida panik bukan kepalang. Reflek Rida segera berlari seraya mendorongku hingga aku terjatuh. Rida pun menyusul terjatuh setelah… “Braaak!!!” samping kanan mobil itu menyambar tubuh Rida. Rida pun dilarikan ke rumah sakit.

Dua tahun pertama keislamanku memang penuh teror. Mengancam keselamatan jiwaku dan orang-orang yang dekat denganku. Tak sedikit dari teman dan sahabatku yang menjadi korban teror mereka. Karena memang, ”Tidak akan pernah ridha orang-orang Yahudi dan Nashrani kepadamu hingga engkau mengikuti agama mereka.” (QS al-Baqarah [2]: 120)

***

Akhirnya aku memberanikan diri mengetuk pintu rumah itu. Tak ada sahutan di antara ketukan. Hanya debaran jantung yang aku rasakan semakin kencang. Ketukan ketiga, sesorang di dalam rumah bergerak perlahan mendekati pintu. Arini seolah-olah mengerti perasaanku, ia kembali mendekapku dari samping kanan.

Perlahan daun pintu pun terbuka, “Neng Rasel…!!!” seru Bi Ijah pembantu di rumah itu, seraya memelukku dengan erat dengan mata berkaca. “Bi Ijah, apa kabar Bi?” sapaku. “Alhamdulillah baik Neng, Neng Rasel sehat?” jawabnya balik bertanya. “Alhamdulillah sehat Bi.. Mimih sama Pipih kemana, Bi?” tanyaku. “Iiih ari si Neng Rasel, pan si Pipih teh udah tiga hari menghilang. Sekarang si Mimih masih sibuk nyari ka ditu ka dieu..” sahutnya dengan logat sundanya yang kental.

Pembicaraan antara kami pun berlanjut di dalam rumah. Dari Bi Ijah aku mendapat kabar bahwa sudah seminggu belakangan sikap Pipih mulai aneh. Semenjak datangnya sekelompok jama’ah berpakaian gamis dan sorban ke kampung ini. Jama’ah itu salah alamat mengajak Pipih untuk sholat berjama’ah di masjid. Kontan saja Pipih geram, hingga terjadi adu mulut antara Pipih dan jama’ah itu.

Akhirnya, tanpa bertemu kedua orangtua kandungku, aku hanya menitipkan salam dan undangan pernikahan untuk mereka. Bi Ijah nampak senang dengan undangan pernikahanku dan berjanji akan datang. Tak dapat kubayangkan, entah apa yang terjadi nanti, jika di hari istimewaku nanti Mimih dan Pipih pun bisa hadir. Kami hanya berharap agar Mimih dan Pipih berkenan hadir dalam resepsiku lima hari yang akan datang. Tanpa terjadi hal-hal yang tidak diharapkan.

Seperti hari terakhir aku bertemu dengan Pipih sekitar tiga tahun lalu. Tepatnya ketika aku nekat berkunjung ke rumah ini, menengok keadaan orangtua kandungku. Dengan sambutan miris, nyaris saja Pipih membunuhku. “Tinggalkan ajaran bodohmu itu, atau peluru ini bersarang dikepalamu?” ancam Pipih seraya menodongkan pistolnya di pelipis kiriku. Keringat dinginku menderas kala itu. Ketakutan menguras seluruh tenaga di ragaku. Namun Mimih segera menepis tangan Pipih, hingga pistolnya meledak dan pelurunya bersarang di paha kiriku.

Ah..mengingat semua itu hanya membuatku bertambah pedih. Menyesakkan seluruh rongga dalam dada. Hingga buliran kepedihan tak mampu lagi kubendung dari mata airnya. Kali ini tangan Bi Ijah yang hinggap di bahuku. Sementara Arini menggenggam punggung tangan kananku. Setelah aku merasa tenang, aku dan Arini pun segera pamit pada Bi Ijah. Meninggalkan rumah masa laluku. Meninggalkan segala kenangan di rumah itu.

***

Kawasan Ciburial masih berselimut kabut pagi. Tetesan embun dari dedaunan seakan turut menyegarkan sejak awal hari. Setelah semalaman hujan membasahi bumi. Namun semua itu tak menyurutkan kesibukkan seisi pesantren dan hampir seluruh penghuni. Karena hari ini, separuh Diin-ku akan segera tergenapkan.

Semua telah dipersiapkan, mulai dari penyekatan dan dekorasi ruang walimatul ‘ursy, pemasangan soundsystem, hingga riasanku yang sederhana sebagai mempelai wanita. Selepas mentari naik sepenggalah, rombongan mempelai pria telah tiba di beranda pesantren. Kedatangan mereka langsung disambut gembira, hingga semua berkumpul di ruang utama masjid pesantren. Sementara aku didampingi Rida dan Arini serta beberapa orang dekat lainnya bergegas menuju masjid melalui pintu ruang mimbar.

Di balik mimbar kami mendengar sambutan-sambutan antara dua pihak mempelai. Gema suara-suaranya dari dalam masjid menembus jantungku yang kian berdebar di balik ruang mimbar. Terlebih lagi ketika aku mendengar Kyai Muchtar menyampaikan khutbah nikahnya. Setelah usai khutbah nikah, beliau pun bertindak sebagai wali hakim yang akan menikahkan aku dengan Irfan.

Persiapan ijab qabul nikah segera disempurnakan. Mempelai pria, wali, saksi dari dua pihak, dan mahar semua telah siap. Prosesi ‘mitsaaqan ghalizha’ pun segera dilaksanakan. Lalu terdengarlah suara khas Kyai Muchtar yang menggetarkan, “Saya sebagai wali hakim, menikahkan.. Raselia Hanifah putri kandung Bapak Darwin Salvasa, kepada Irfan Maulana bin Abdul Qasim dengan mahar 20 gram perhiasan emas, dibayar tunai…”

Seiring dengan itu, dari luar masjid terdengar suara mobil yang baru tiba. Lalu menyusul suara langkah tergesa setengah berlari. Dan… “TUNGGU..!!!” teriak seseorang dari luar masjid. “Tunggu…!!! Pernikahan ini tidak akan pernah sah!!!” ulangnya. Terang saja semua yang hadir terheran-heran dibuatnya. Aku sendiri tak tahu bagaimana respon mereka yang hadir di dalam masjid. Yang aku tahu, kami yang berada di balik mimbar saling berpandangan satu sama lain.

“Demi Tuhan Allah, pernikahan ini tidak akan pernah sah!!!” suaranya semakin jelas terdengar dari dalam masjid. Rupanya seseorang itu telah memasuki ruang utama masjid. Aku mengenal sekali suara itu. Suara yang sama dengan kata-kata cacian dan ancaman beberapa tahun lalu, “Apa-apaan kamu?!”, “Kamu mau jadi pocong, apa?!”, “Dasar anak dungu, tak tahu diuntung..”, “Tinggalkan ajaran bodohmu itu, atau peluru ini bersarang dikepalamu?”, dan kalimat-kalimat cacian serta ancaman yang tak layak diungkapkan seorang ayah kepada putrinya. Ya…itu suara Pipih.

Rasa takut mulai menyerang isi dadaku, menjalar keseluruh tubuh seiring aliran darahku. Seakan-akan rasa itu menguras seluruh tenagaku. Arini berusaha menenangkan aku, sementara Rida keluar dari mimbar untuk memastikan siapa yang berteriak-teriak itu. Rida segera kembali dengan wajah pucat pasi, “Pipihmu, Han..?!”. Semakin erat saja rasa takutku mencengkram seluruh  ragaku. Meruntuhkan segenap kekuatanku.

“Maaf Pak, Bapak ini siapa?” suara Kyai Muchtar bertanya. “Nama saya semula Darwin Salvasa, bapak kandung Raselia…?!” tegas Pipih. Kontan saja peristiwa itu mengejutkan semua yang hadir. “Maksud Bapak, nama semula?” tanya Kyai. “Ya..semula itulah nama saya, sekarang nama saya Ridwan Muhajir. Saya sudah muslim…” jawab Pipih dengan mantap. “Alhamdulillah..” seru mereka yang hadir di dalam masjid juga kami yang berada di balik mimbar.

Seakan tak percaya aku terperanjat bangkit dari tempat dudukku, dan berlari memasuki masjid dari pintu mimbar. Kemunculanku mengejutkan mereka seisi masjid, aku tak peduli. Yang kucari sosok Pipih, dia tengah berdiri dekat meja ijab qabul didampingi Mimih yang bertudung seadanya. Di belakang mereka berdua tepat di dekat pintu masuk masjid Nampak Bi Ijah tengah berdiri dengan cucuran keharuannya.

“Mimih, Pipih..” seruku seraya berlari ke arah mereka diiring derai kerinduan. Lembut tangan mereka menyambut. Dalam pelukan keduanya ada kelembutan yang sempat hilang dari hidupku. Tak henti-hentinya tangan mereka mengusap punggung dan kepalaku. Isak tangis tak terbendung lagi diantara kami. Tak sedikit dari mereka yang hadir turut haru menyaksikan kami bertiga.

“Maafkan aku, anakku…” suara Pipih melemah. “Maafin Rasel juga, Pih…” sahutku seraya memeluk Pipih. “Bukan…Aku bukan Pipihmu yang zhalim itu, Nak. sekarang aku Ayahmu yang akan melindungimu sepanjang hidupku.” ujar Pipih membangkitkan derasnya air mataku. Mimih tak henti-hentinya mengalirkan keharuannya seraya memeluk kami. Pelukan hangat penuh kasih sayang mereka yang selama ini aku rindukan.

Menghilangnya Ayah beberapa hari dari rumah ternyata berbuah hidayah. Ayah bermaksud mengintai dan mengikuti gerakan jama’ah yang tempo hari terlibat adu mulut di desanya. Besar dugaan Ayah bahwa jema’ah itu merupakan sebagian dari kelompok teroris. Namun Allah berkehendak lain, semakin ia mengikuti semakin ia jatuh hati pada kebaikan akhlaq mereka. Belakangan kami tahu bahwa kelompok jema’ah itu sering disebut Jama’ah Tabligh.

“Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya.” (QS Al-An’am, 6 : 88)
“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya. Dan mereka mempertakuti kamu dengan (sembahan-sembahan) yang selain Allah? Dan siapa yang disesatkan Allah maka tidak seorangpun pemberi petunjuk baginya. Dan barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak seorangpun yang dapat menyesatkannya.” (QS Az Zumar, 39 : 36-37)

Suasana haru kini mulai mereda, namun aku masih tak mampu menyembunyikan bulir-bulir haru disudut mataku. Persiapan ijab qabul pun dilanjutkan. Kali ini Pipih..maaf..Ayahku langsung yang menjadi waliku.

“Saya nikahkan.. Raselia Hanifah binti Ridwan Muhajir…” suara Ayah terputus menahan tangis. Dua kali Ayah mengulang kalimat itu dua kali pula suaranya terputus. Hingga untuk ketiga kalinya, “Saya nikahkan.. Raselia Hanifah binti Ridwan Muhajir, kepada Irfan Maulana bin Abdul Qasim dengan mahar 20 gram perhiasan emas, dibayar tunai!!!”

Suara Irfan segera menyambut, “Saya terima nikahnya Raselia Hanifah binti Ridwan Muhajir, dengan mahar 20 gram perhiasan emas, dibayar tunai…”. “Alhamdulillah…”. “Barokallohu laka wa baaroka ‘alaika wa jamaa’a bainakuma fii khoir.” (Semoga Allah memberkahimu dan menetapkan berkah atasmu, serta mengumpulkan engkau berdua dalam kebaikan.) (HR Ahmad)

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS Ar Ruum, 30 : 21)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar