Minggu, 09 Oktober 2011

Bingkai Berdebu



Suara bising mesin bus ekonomi Bandung-Jakarta rasanya masih bergemuruh di telinga Kamil. Begitu pun nyanyian para pedagang asongan yang bergantian menghampiri penatnya, seakan masih mengalun merdu dalam pendengaran. Belum lagi suara-suara sumbang gitar dan tabuhan perkusi para pengamen jalanan, seakan masih mengiang-ngiang di sekitar telinganya. Semua suara-suara itu kini berganti dengan suara hiruk pikuk Ibukota. Atmosfer yang baru ia hirup sepanjang hidupnya. Karena baru kali itu ia menginjakkan kaki di Ibukota Jakarta, tepatnya di bilangan Jakarta Timur.



Sesampainya di terminal Kampung Rambutan, Kamil segera mengeluarkan catatan kecil dari tas punggungnya. Di sana tertulis “dari Kp. Rambutan naek 08 sampai TMII…”. Kamil pun segera mencari angkutan kota 08. Dari Kampung Rambutan, ia bermaksud menuju Bambu Apus. Namun…“Udah hampir Zhuhur..cari masjid dulu aja lah..” gumamnya. Masih dalam angkot 08 yang cukup sesak penumpangnya, tepat di perempatan Garuda, Kamil mendengar seruan adzan Zhuhur. Ada gemuruh dalam dadanya. Gemuruh rindu ingin segera berkhalwat dengan Rabbnya. Tanpa diminta, supir angkot 08 segera menancap gasnya lebih kencang. Namun Tak lama kemudian Supir Berpeci itu menepikan mobil angkotnya ke arah kiri. Tepat di depan Masjid At-Tiin, tak jauh dari Taman Mini.


“Penumpang maaf ye, aye mau sholat dulu nih. Yang mau nuggu, boleh. Tapi kalau mau pindah juga boleh dah…kagak usah bayar.” ujar Supir Berpeci pada para penumpang dengan senyum ramahnya. Hampir seluruh penumpang memilih beralih ke angkot lain. Sementara Kamil segera menyusul langkah Supir Berpeci menuju masjid, menunaikan sholat zhuhur berjama’ah. Sebelum iqomat, Kamil sempat menunaikan dua rakaat qobliyah. Setelah berjama’ah zhuhur, Kamil pun tak melewatkan ba’diyahnya.


Sebelum beranjak dari tempat bersimpuhnya, dikeluarkannya mushaf kecil cetakan timur tengah yang selalu menemaninya. Ditariknya benang hijau tanda pembatas, lalu ia pun mulai melantunkan ‘surat cinta’ dari Rabbnya, dengan suara lemah lembut dan merdunya. Satu kebiasaan baginya bertilawah selepas sholat fardhu. Minimal dua lembar. Sehingga seharinya ia bisa menyelesaikan 1 juz, kadang lebih.


Rupanya Sang Supir Berpeci yang tak jauh dari tempat Kamil mendengar sayup-sayup lantunan itu. Keinginannya melanjutkan pekerjaannya tertunda karena suara Kamil yang merdu. Ia nampak menikmati alunan suara itu, hingga suara Kamil terhenti setelah sampai di ayat,
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’.” (QS Al Isra’, 17 : 23 -24)


Kamil tak mampu melanjutkan tilawahnya. Suaranya menyesak. Lantunan merdu telah berubah menjadi terisak-isak. Sang Supir Berpeci pun tersentuh hatinya. Rasa kagum memenuhi sanubarinya. Dihampirinya Kamil yang terhenti dari tilawahnya.
“Assalaamu’alaikum, ente baek-baek aje?” sapa Supir Berpeci seraya merangkul bahu Kamil.
“Wa’alaikum salam…” sahut Kamil singkat seraya menganggukkan kepalanya.
“Aye betah denger ngaji ente, eeh..malah berenti. Kenape ente nangis?” ujar Supir Berpeci menenangkan Kamil, mengelus-elus punggungnya.
“Gak apa-apa, Bang. Saya baik-baik aja” jawab Kamil sambil mengusap airmatanya.


Kamil menyembunyikan perasaannya. Membaca ayat itu mengingatkannya pada Bapak kandungnya. Sejak kecil ia ditinggal Bapaknya. Bahkan ia pun tak ingat seperti apa rupanya. Selama ini ia tinggal bersama Ibu kandungnya. Rupanya Kamil menangis karena merindukan sosok Bapak kandungnya.


Supir Berpeci mengerti, ia tak sepatutnya tau masalah Kamil. Segera ia pun mengajak Kamil ke kantin di halaman masjid At-Tiin. Di sana mereka bersantap siang. Tempat biasa makan siang bagi Supir Berpeci itu. Mereka pun mulai berbincang berkenalan. Supir Berpeci jadi tau bahwa Kamil baru tiba di Jakarta. Kamil bermaksud berkunjung pada calon mertuanya, di Bambu Apus. Ia telah meminang seorang akhwat yang sudah ia kenal semasa di kampusnya di Bandung.


“Udeh…Aye yang bayar…!” kata Supir Berpeci membayari santap siang mereka.
“Gak usah, Bang. Saya masih ada uang, kok..” tolak Kamil.
“Bukan masalah uangnye.. Ente kan tamu aye sekarang ini. Jadi kewajiban aye ngemuliain ente sebagai tamu aye..” ujar Supir Berpeci memaknai sebuah hadits,
‘Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia memuliakan tamunya.’ (HR Bukhari).


Usai membayar makan siangnya, Supir Berpeci bermaksud pamit untuk menyusuri trayek angkotnya kembali. Ia mengingatkan Kamil untuk berhati-hati di Ibukota ini. “Ibukota lebih kejam dari Ibu Tiri…” candanya. Tak lupa ia juga memberi tau Kamil, dari depan masjid At-Tiin Kamil bisa naik angkot 01 jurusan Bambu Apus. Tempat yang dituju Kamil. Setelah Kamil mendapatkan angkot 01, Supir Berpeci pun berlalu membawa angkotnya kembali.


Tak sampai 15 menit, Kamil sudah tiba di alamat yang dituju. Tempat tinggal calon mertuanya yang baru sekali bertemu saat proses khitbah, itu pun hanya pihak Ibu. Karena alasan dinas, Bapaknya tak sempat hadir waktu itu. Proses khitbah memang dilaksanakan di Bandung sebulan yang lalu. Proses sederhana yang berlangsung di rumah Neneknya dari pihak Ibu. Kedatangan Kamil ke rumah itu di sambut gembira calon istrinya, Shofiyya.


Shofiyya masih duduk di semester 3 di Fakultas Psikologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Sementara Kamil hampir menyelesaikan Tugas Akhirnya di kampus dan fakultas yang sama. Ada kemiripan di wajah keduanya, pertanda jodoh menurut sahabat-sahabatnya. Mereka dita’arufkan beberapa sahabatnya, hinga berkhitbah. Setelah proses khitbah, Shofiyya sering mampir menengok Ibu Kamil, meskipun Kamil tak ada di rumah. Kedekatan Shofiyya dan Ibu Kamil begitu akrab. Bahkan Shofiyya sudah menganggapnya sebagai Ibu sendiri. Tak jarang Kamil merasa iri dengan keakraban mereka.


Namun di sisi lain, Ibu Kamil sering mengingatkan Shofiyya agar jangan terlalu sering menengoknya. Khawatir terjadi fitnah. “Kalian kan baru tunangan, belum nikah. Belum ada hak apa-apa..” ujar Ibu Kamil mengingatkan. Namun karena kasih sayang Shofiyya yang tulus lillahi ta’ala, Shofiyya tetap sering menengoknya. “Shofi ikhlash kok Bu…! Walaupun jika Shofi bukan jodoh Kak Kamil, Shofi tetep akan sayang sama Ibu.” ungkapnya di kala itu.


 “Masuk Nak Kamil, anggap aja rumah sendiri. Gak usah sungkan.” sambut Ibunya Shofiyya yang memang mudah akrab dengan siapa saja. Terlebih lagi kepada calon menantunya. “Harap maklum ya, beginilah keadaan rumah kami. O iya..Sambil nunggu Shofiyya bikin minum, silakan Nak Kamil boleh liat-liat koleksi buku Papahnya tuh.” ujarnya sambil menunujukkan satu lemari yang nyaris dipenuhi berbagai buku-buku tebal.


Pandangan Kamil mulai menyusuri lemari buku. Pandangannya menjamah setiap jengkal isi lemari itu. Ada 8 jilid Kitab Tafsir Ibnu Katsir lengkap 30 juz, kitab-kitab hadits Shahihain dan Arba’in juga tersusun rapi di situ. Belum lagi kitab-kitab lain yang sudah tak asing bagi Kamil. Hingga akhirnya pandangan Kamil terhenti pada sebuah bingkai berdebu. Tanpa sadar diraihnya bingkai itu lalu ditatapinya. Dalam bingkai berdebu itu Kamil melihat seorang lelaki gagah tengah berdiri. Sementara di samping kanannya, seorang perempuan sedang duduk di kursi sambil menggendong bayi laki-laki. Di sudut kiri bawah foto itu tertulis ‘5 Desember 1984’. “Dua puluh dua tahun lalu, tepat satu tahun usiaku.” gumamnya.


"Itu foto Papah sama istri dan anak pertamanya.." ujar Shofiyya yang baru tiba seraya membawa secangkir kopi dan sepiring makanan ringan. "Aku pikir..aku lah anak pertama. Ternyata aku punya Kakak tiri laki-laki dari Papah. Kami terpaut sekitar 3 tahunan kata Papah. Tapi sampai saat ini, kami belum pernah bertemu. InsyaAllah, mungkin suatu saat nanti, semoga Allah mempertemukan kami sekeluarga.." lanjutnya.


“Di mana mereka sekarang?” tanya Kamil ingin tau.
“Istri dan anak pertamanya? Entahlah..semenjak Papah bercerai dengan istri pertamanya Papah hijrah ke Lampung. Lalu menikahi Mamah…“ papar Shofiyya.
“Empat bulan sebelum Shofi lahir, Papah Shofi dipindah tugaskan di sini.” sambung Ibunya tiba-tiba.
“Sesekali ia berkunjung ke kampungnya di Leuwigoong Garut, untuk menengok putranya. Tapi mereka sudah pindah dari sana. Tak ada yang tahu kemana.” lanjutnya.


Cukup lama mereka bertiga melanjutkan perbincangan. Hingga membicarakan rencana pernikahan. Tak terkecuali besarnya mahar yang tidak ditetapkan oleh Shofiyya. Tak memberatkan bagi Kamil. Karena Shofiyya cukup memahami keadaan keluarga Kamil. Selain itu Shofiyya faham betul akan sebuah hadits, “Wanita yang paling besar barakahnya ialah wanita yang paling mudah (murah) maharnya.” (HR Ahmad, Al Hakim, dan Al Baihaqi)


Perbincangan mereka kini beralih ke arah halaman rumah. Di mana sebuah mobil angkot 08 baru tiba dan parkir di sana. Supirnya tak asing dalam pandangan Kamil. Ya…Sang Supir Berpeci. Ia membawa seorang penumpang, seorang lelaki gagah separuh baya. Lelaki itulah calon Bapak mertua Kamil. “Tuh, Papah pulang di anter Bang Tohir, Mah…” sahut Shofiyya menyambut kedatangan mereka berdua.


Dari dalam ruang tamu, mereka bertiga cukup jelas mendengar suara lantang Bang Tohir, Sang Supir Berpeci. “Tadinye aye kagak tau, Cang…kirain ntu anak mude bukan mau ke mari. Untung aye cerita di pangkalan angkot.” tutur Udin kepada lelaki itu. Tak lama, kedua lelaki itu muncul di depan pintu. Setelah mengucap salam, Kamil Shofiyya dan Ibunya menyambut mereka berdua.


Rupanya Bang Tohir adalah kakak sepupu Shofiyya. Seorang supir salah satu angkot di pangkalan milik Bapaknya. Di pangkalan angkot ia menceritakan perjumpaannya dengan pemuda di masjid At Tiin. Yang mengingatkan pemilik pangkalan angkot 08 itu untuk bertemu dengan calon menantunya. Segera saja Bapak Shofiyya minta diantar pulang. Dan tak salah lagi, pemuda yang diceritakan Bang Tohir itulah yang tengah dinantikan kedatangannya.


Setelah Kamil memperkenalkan diri pada calon Bapak mertuanya. Perbincangan mengenai rencana pernikahan pun berlanjut. Hingga rencana shilaturahim keluarga Shofiyya ke kediaman Kamil dan Ibunya.


***


“Shofi memang gadis cantik dan baik, Ka…” ujar Ibu Kamil suatu malam selepas Isya.
“Tapi nurani Ibu menolak dia jadi istrimu…” lanjutnya.
“Kenapa begitu, Bu? Apa yang Ibu gak suka dari Shofi?”
“Bukan begitu…Ibu sadar, Ibu sayang sama Shofi. Tapi entahlah…rasanya sulit Ibu ungkapkan.”
“Bu.. Kaka ngerti kekhawatiran Ibu. Nanti setelah kami menikah, Kaka tidak akan meninggalkan Ibu. Siapa yang mau nemenin Ibu kalau bukan kami nanti…”
“Apa Kaka yakin kalau kalian ada jodoh?”
“Hampir tiap malam Kaka istikharah, Bu..”
“Hasilnya?” tanya Ibu singkat.
“Hmm..entahlah. Kaka masih belum dapat jawaban dari Allah.”
“Coba koreksi lagi istikharahnya.. Buat apa Kaka istikharah, kalau di hati Kaka masih menyimpan harapan pada selain Allah. Apa Allah mau nerima istikharah macam itu?”


Kamil diam tertegun. Dia menyadari bahwa selama ini ia menyimpan harapan besar pada pilihannya, Shofiyya. Kamil lupa menggantungkan harapannya pada Allah saja. Dia pun lupa bahwa Allah yang akan menetukan hasilnya.


Kamil segera mendekati Ibunya yang tengah duduk dikursi. Menyandarkan dada di kedua lutut Ibunya seraya bergenggaman jemari.
“Kaka hanya berharap Ibu meridhoi, supaya Allah pun meridhoi.”
“Untuk hal lain Ibu ridho, tapi untuk nikah sama Shofi Ibu belum bisa ridho, Ka…” jawab Ibunya yang tak mampu lagi membendung lelehan air melintas di pipi.


Kamil merebahkan sebagian tubuhnya di atas pangkuan Ibu. Melingkarkan kedua tangannya memeluk badan Ibu. Bermaksud menenangkan dan membujuk hati Ibu. Suara Kamil nampak sendu.
“Tapi Bu…”
“Tidak ada tapi…! Kaka tidak boleh nikah sama Shofi…” tegas Ibunya.
“Bu… Kaka udah terlanjur janji pada keluarga Shofi… Apa kata mereka nanti?”


Di ruang itu, bersahutan isak tangis dari keduanya. Ibu Kamil tak mampu lagi berkata-kata. Hanya mampu mencucurkan air mata, dan menahan semampunya suara isaknya. Di balas buliran kegalauan Kamil di atas pangkuan Ibunya. Lembut jemari Ibu tulus menyusuri tiap celah rambutnya. Sesuatu yang kelak akan dirindukannya.


Tanpa Kamil sadari, beberapa orang sudah berada di ruang itu. Kedatangan mereka yang tiba-tiba cukup menjawab kekhawatiran Ibu. Ibu mengenali gadis itu, seorang gadis yang dikenal Ibu sebagai gadis cantik dan baik. Ibu juga masih mengenal sosok lelaki gagah yang tengah berdiri di dekat pintu. Rupanya mereka mendengar jelas ucapan terakhir Ibu, “Tidak ada tapi…! Kaka tidak boleh nikah sama Shofi…”.


“Ibu benar, Ka…” ucap Shofiyya seraya merangkul bahu Kamil. Kamil cukup terkejut mendengar suara Shofiyya, sekaligus dengan sentuhan di bahunya. “Astaghfirullah..Shofi, apa maksudnya ini?” seru Kamil seraya membangkitkan wajah yang masih bersimbah dari pangkuan Ibunya. Shofiyya dan Kamil saling menatap dalam-dalam. Kebekuan meliputi dalam pandanganmereka. Tak samar lagi pelupuk mata Shofiyya pun mulai berkaca-kaca. Sementara Ibu semakin tak kuasa membendung tetesan kasih sayang dari matanya.


“Ibu benar, Ka… Kita tidak boleh menikah!!!” ujar Shofiyya yang mulai menitikkan air matanya.
“Tidak..tidak.. Kenapa tidak boleh?” ujar Kamil menolak, seraya melepaskan rangkulan tangan Shofiyya dari bahunya. Lalu sosok lelaki gagah itu menghampiri mereka, ia pun merangkul bahu Kamil menggantikan Shofiyya. Dengan suara lirih ia berkata,
“Karena…dalam darah Shofi ada darah yang sama seperti dalam darahmu. Dalam darah Shofi ada darah Bapakmu. Shofi adalah adik tirimu. Dan akulah Bapakmu, wahai Kamil Musytaqiin…?!?!” suaranya memecah kebekuan diruang itu. Suara isak semakin keras terdengar memenuhi ruang yang membisu.


Melayang sudah angan Kamil mendengarnya. Raganya di sana namun jiwanya entah ke mana. Seakan jiwanya pergi menghindari keadaan yang tak berpihak padanya. Karena ia tak pernah mengira Shofiyya adalah adik tirinya yang diharamkan jika ia menikahinya.
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An Nisaa’, 4 : 23)


Masih dalam isak tangis, perlahan Shofiyya mengeluarkan bingkai berdebu itu dari tas rajut yang dibawanya. Shofiyya menyerahkan bingkai itu kepada Kamil,
“Lihat, Ka… anak lelaki yang tampan dalam bingkai berdebu ini adalah Kaka..
Shofi baru menyadari bahwa nama Kaka tertulis dibelakangnya…”


Kamil pun segera membalikkan bingkai berdebu. Benar saja, di sana tertulis ‘Milad 1 tahun, Kamil Musytaqiin (5 Desember 1983)’.
“Awal Bapak ketemu kamu, Bapak sudah merasa dekat sekali degan kamu. Hingga Bapak banyak bertanya pada Shofi tentang  asal-usul keluargamu. Dan Shofi menceritakan semuanya, seperti yang pernah Ibumu ceritakan padanya…”


Kamil segera memeluk erat Bapaknya. Sosok lelaki gagah dalam bingkai berdebu yang selalu dirindukannya. Sementara Ibu berpelukan tangan bersama Shofiyya. Menyaksikan harunya pertemuan antara anak lelaki tampan dan Bapak kandungnya.


Bingkai Berdebu pun turut menjadi saksi yang membisu. Saksi saat perpisahan mereka dua puluh tahunan yang lalu, hingga saksi saat perjumpaannya di hari itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar