Minggu, 09 Oktober 2011

Dermaga Senja


أَمْسَيْنَا وَأَمْسَى الْمُلْكُ للهِ، وَالْحَمْدُ للهِ، لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهَا، وَأَعُوذُبِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهَا، رَبِّ أَعُوذُبِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَسُوءِ الْكِبَرِ، رَبِّ أَعُوذُبِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ.

“Kami telah memasuki waktu sore dan kerajaan hanya milik Allah, segala puji bagi Allah. Tidak ada ilah (yang berhak disembah) kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Milik Allah kerajaan dan bagi-Nya pujian. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.Ya Rabbku, aku mohon kepada-Mu kebaikan di malam ini dan kebaikan sesudahnya. Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan malam ini dan kejahatan sesudahnya. Ya Rabbku, aku berlindung kepadaMu dari kemalasan dan kejelekan di hari tua. Wahai Rabbku, aku berlindung kepada-Mu dari siksaan di Neraka dan siksaan di kubur.” HR. Muslim (4/2088, no. 2723)

Selepas kulantunkan dzikir petang di serambi Masjid Pasirjaya Cilamaya Jawa Barat. Sabtu petang itu aku bergegas menuju dermaga di tepi pantai utara Cilamaya. Diiringi mentari yang masih cukup hangat menyengat. Namun perlahan ia tengah bersimpuh di ufuk barat.

Tak cukup lama aku tiba di dermaga yang dijanjikan. Sepoi angin pantai menyambut kedatanganku diiring deburan ombak yang bersahutan. Di sinilah janji pertemuan dengan sahabat lama yang pernah kudambakan. Namun semua itu hanya angan. Sebab aku tak pernah megungkapkannya.

Duduk di tepi dermaga dalam kesendirian. Kutatapi kaki langit yang jingga seraya cumbui angan. Keindahan senja yang dulu pernah ku puja, kini terasa biasa saja. Setelah kau dan aku tak lagi bersama.

Masih tergambar jelas ukiran tangannya yang terpahat di ujung dermaga. Ungkapan hati yang tak bisa ku pungkiri. Ukiran rasa yang meresap ke dalam jiwa. Tak hanya terpahat di sana, namun ia pun terpahat di sini, di hati ini.

"Adakah jiwamu menyapa seperti jiwaku menyapamu?
Adakah hatimu berkata bahwa aku mengagumi diammu?
Izinkan aku untuk berlabuh
Di dermaga hatimu yang teduh
Merengkuh cinta dalam ridho-Nya
Berpagut rindu dalam rahmat-Nya..."

Masih terbuai dalam angan yang telah lalu, sesosok bayangan perlahan menghampiriku. Kupastikan bayangan itu seraya memalingkan wajah ke arah kiriku.

"Assalaamu'alaikum...udah lama nunggu, Di?" ucap Siti menyapa sendiriku.
"Wa'alaikumsalaam warohmatullah... Belum sih, tapi kalau setengah jam lagi, kayaknya Ardi bakal lumutan nih..." gurauku.
"Maaf ya, Di… Siti telat. Disuruh kakak beli obat." ujarnya dihiasi senyum.

“Siti Fatimatuz Zahra, kau semakin mempesona. Bukan karna cantikmu, tetapi karena jilbabmu yang berbeda.” Ungkapan ketakjubanku dalam batin. Ya...kerudung indahnya yang dulu kini berganti menjadi jilbab sederhana. Setelan jaket dan celana  jeans yang biasa dikenakannya, kini berganti gaun panjang yang menambah pesonanya.

Kami pun mulai bercengkrama. Saling bertanya kabar dan keadaan kami berdua. Bercerita masa lalu saat kami masih bersama, hingga akhirnya terpisah karena urusan kuliah.

Siti sahabat perempuan terbaikku. Tak ada masalah di bahuku melainkan Siti tahu akan hal itu. Mulai dari masalah agama, keluarga hingga masalah pribadiku. Begitu pun sebaliknya, Siti tak pernah lupa berbagi bebannya denganku. Hingga muncullah rasa itu. Keinginan saling memiliki yang terpendam di dasar hati. Namun kami memilih diam dan hanya saling mengagumi dalam hati.

Tiga tahun lalu sebelum kami berpisah, aku bermaksud pamit pada Siti untuk berhijrah melanjutkan studiku di bangku kuliah. Di dermaga itulah aku cukup lama menunggunya. Tanpa sadar aku membaca pesan terakhirnya yang terpahat dalam ukiran di ujung dermaga. Dan Siti pun tak kunjung tiba hingga mentari kembali ke peraduannya.

Sejak saat itu, kami tak pernah lagi bertemu. Aku kuliah di Politeknik Manufaktur Bandung, sedangkan Siti memilih bekerja di kota hujan, Bogor. Tak ada kabar lagi, tak ada berita lagi. Hingga kuputuskan untuk berkhitbah pada seorang pilihan Allah. Seorang wanita yang tak lebih cantik dari sahabatku, Siti. Namun cukup baik agamanya.

Idul Fitri ketiga setelah aku dan Siti berpisah, Allah mempertemukan kami kembali. Semacam ujian atas keistiqamahanku pada pilihan Allah. Dan di dermaga ini lah janji pertemuan kami.

“Di…”, “Ti...” ungkapku bersamaan dengan Siti.
“Ardi duluan deh…” kata Siti.
“Nggak apa-apa, Siti aja dulu…silakan.”

“Mmh…ada kabar baik…” ungkap Siti memancing rasa penasaranku.
“Oh ya? Siti mau nikah yah?” tanyaku sok tahu.
“Iiih…bukaan…” jawabnya manja.

Mungkinkah dia sudah berkhitbah juga? Agar aku merasa tenang ketika aku harus mengabarkan bahwa aku sudah berkhitbah. Dan minggu depan aku segera menikah.

“InsyaAllah, Di…mulai  Senin nanti Siti di pindahin kerjanya ke Bandung. Perusahaan kami membuka cabang baru di sana. Jadi kita bisa sering ketemu lagi di sana.” ungkap Siti berbahagia.

“MasyaAllah…” ungkapku membathin.
“Kalau Ardi tadi mau bilang apa…?” tanya Siti.
“Mmh…entah kabar baik, entah kabar buruk…”
“Lho kok gitu? Emangnya kenapa?”

Ada rasa ragu untuk mengungkapkan kenyataan. Tapi aku harus mengatakannya. Sebelum kuungkapkan, aku menanyakan tentang kepindahannya ke Bandung.
“Ngomong-ngomong…Siti pindah ke Bandung memang ditunjuk sama perusahaan atau…”
“Siti yang minta…” jawabnya memotong kalimatku.
“Setelah ada kabar bahwa perusahaan membuka cabang baru di sana, Siti yang pertama kali mengajukan diri. Dan alhamdulillah, pihak perusahaan menyetujui.”

Sudah kuduga… Semakin berat saja keinginanku mengungkapkan bahwa aku sudah berkhitbah. Entah harus bermulai dari mana aku mengabarkannya.

“Lanjutin dong…Ardi kan belum bilang kabar Ardi…” pinta Siti.
“Bingung, Ti… Ardi bingung ngungkapinnya…”
“Tinggal bilang aja… Ardi mau nikah ya?”

Seketika itu angin di pantai utara Cilamaya menrepa kami berdua. Berhembus menggerakkan helai-helai rambut dan pakaianku, juga mengibarkan helaian jilbab yang dikenakannya. Meski Siti hanya menduga-duga, namun tepat seperti dugaannya.

“InsyaAllah, Ti… sebelum bulan Ramadhan  Ardi sudah khitbah, dan minggu depan Ardi nikah.” ungkapku merasa mantap, dan berharap Siti bisa mengerti. Tapi sesaat kemudian aku merasa bodoh, berbicara rencana nikahku di hadapan orang yang justru ingin kunikahi.

“Beneran? Alhamdulillah…” ungkap Siti dengan senyum riang. Tak kuduga, Siti begitu riang mendengarnya. Seakan ia turut berbahagia. Namun tak lama ia pun beralih memilih duduk di bangku dermaga. Sementara aku masih duduk dipagarnya.

Dengan jarak itu kami terus bercengkrama. Tentang rencana kepindahannya dan rencana pernikahanku. Juga tentang orang yang akan kunikahi. Dan orang-orang yang pernah aku istikharahi, termasuk Siti.

Sejenak aku terdiam, begitu pun adanya Siti. Hanya desiran angin yang menyapa kami, disertai deburan ombak yang turut bernyanyi. Dan perlahan mentari kian tenggelam. Pertanda hari kan berganti malam. Sayup-sayup kumandang adzan mulai singgah di telinga kami.

Siti pun segera pamit meninggalkan dermaga dengan tergesa. Namun aku tak segera menyusulnya. Terlebih dahulu aku menghampiri tempat duduknya semula. Di atas meja sekitar bangku dermaga aku melihat ada tetesan-tetesan air di sana.

Desir angin kian menyapaku. Padanya kutitipkan pesan untuk sahabatku,

“Wahai Angin…
Sampaikan maafku padanya…
Maafkan aku yang tak memilihnya

Sekiranya bukan karena istikharah
Jikalah bukan karena pilihan Allah
Tentu aku akan memilihnya
Tetapi Allah telah tentukan semuanya
Dan Allah tahu yang terbaik bagi hamba-hambaNya…”

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (QS Al Ahzab : 36)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar